Saya pernah mendengar orang-orang dewasa berkata, “cintailah pekerjaanmu, maka kau akan melakoninya dengan penuh semangat dan antusias.” Terinspirasi dengan kalimat tersebut, muncul sebuah ide yang mendasari lahirnya tulisan mengenai apa yang harus dilakukan oleh seorang guru agar bisa bersikap profesional, yaitu “Cinta adalah Dasar dari Profesionalisme Guru“.Sekian lama keinginan untuk berpartisipasi dalam kompetisi penulisan artikel tentang guru ini tertunda, karena saya harus melakukan persiapan menghadapi UN. Akhirnya ada juga ‘kesempatan dalam kesempitan’ untuk mewujudkannya (karena saya masih harus belajar untuk US).
Jujur saja, salah satu motivasi saya mengikuti ajang ini karena prihatin dengan nasib ‘adik-adik’ saya (akan saya jelaskan nanti kenapa) dan keinginan untuk memenangkan hadiah laptop, agar bisa seperti idola saya, Dahlan Iskan, yang tetap bisa bekerja di mana pun dia berada karena memiliki laptop.
Menurut orang-orang dewasa yang bijak itu, jika kita mencintai sebuah pekerjaan, maka kita akan mengerahkan segala potensi yang kita miliki untuk mengoptimalkan pencapaian hasil pekerjaan itu, tidak peduli sebesar apa pun pengorbanan yang harus kita lakukan. Waktu, pikiran, tenaga, uang, bahkan mungkin kesehatan! Ibarat mencintai seorang kekasih, kita rela melakukan apa saja untuknya. Pengorbanan seberat apa pun akan terasa indah dan manis, demi kebahagiaan sang kekasih. Kurang lebih begitu.
Dengan pemahaman saya yang masih sangat terbatas, saya mencoba menganalogikan . . . mungkinkah : kecintaan terhadap kekasih = kecintaan terhadap pekerjaan = PROFESIONALISME?
Guru, bermakna ganda : Person atau orangnya, sekaligus pekerjaan atau Profesinya. Pernah suatu hari, tanpa sengaja saya menguping obrolan ibu dan mbah Kung saya (kakek, bapak dari ibu saya). Terlontar sebuah kalimat dari mulut mbah saya, yang hingga hari ini belum benar-benar saya pahami apa maknanya dan adakah dasar untuk pembenarannya. Katanya, GURU adalah orang yang di-GU-gu dan diti-RU. Terserah pembaca untuk menginterpretasikan filosofi itu seperti apa. Yang jelas, nilai rasa yang tertangkap oleh alam pemikiran belia saya saat itu bahwa “guru adalah teladan”, “idola” seperti kata para remaja seusia saya, “my teacher is the best!”.
Pertanyaannya, masih relevankah ungkapan tersebut dengan kon0disi guru saat ini? Sulit bagi saya untuk menjawabnya. Untuk adilnya, kita pilih jawaban ala iklan saja . . . maybe yes…maybe no! Mungkin ya, mungkin tidak…..
Guru sebuah profesi mulia. Siapa pun tidak akan mengingkari kenyataan itu. Tapi sejatinya seorang guru, menurut saya, jika seseorang bisa menjalankan peran sebagai guru “all out”, “luar dan dalam”, di luar guru di dalam juga guru. Bukan hanya sebutan guru yang melekat di seragamnya, jenis pekerjaannya secara fisik, tetapi jiwa keguruannya terselip entah di mana.
Guru idaman saya adalah guru yang memiliki totalitas, jiwa keguruannya merasuk-suk sampai ke segenap ion tubuhnyap. Pada kenyataannya tidak sedikit orang yang menjadi guru hanya karena desakan keadaan, dengan alasan hanya jurusan tersebut yang bisa dipilih, serta berbagai alasan lainnya, dan bukan karena ia benar-benar bercita-cita ingin menjadi seorang guru.
Kecintaan terhadap profesi guru akan memunculkan sebuah sumur ilham, mata air inspirasi, sumber ketulusan, keikhlasan dan pengabdian yang mengalir tiada henti. Seorang guru sejati akan tetap merasa, berpikir, dan bersikap selayaknya seorang guru di mana pun, kapan pun, dan dalam situasi apa pun ia berada, tidak terbatas hanya dalam lingkungan sekolah semata. Karena menurut saya, GURU adalah IBU dari semua Profesi. Melalui ‘sentuhan’ seorang guru, terlahirlah profesi-profesi yang lain.
Mengapa kata ‘Cinta’ menjadi isu penting dalam tulisan ini, saya akan coba menguraikan semampu saya, pembaca bisa menambahkan dengan sederet ‘cinta…..” yang lain.
Pertama, cinta terhadap sesama. Bukan cinta terhadap sesama jenis, lho (hehehe). Yang saya maksud di sini, adalah cinta terhadap sesama manusia. Dengan kata lain, rasa solidaritas ataupun penghormatan kepada manusia yang lain. Kalau kita masih punya hati, tidak mungkin kita tidak merasa sedih jika melihat seorang anak harus bekerja sebagai pemulung di jam sekolah. Tidakkah kita akan berpikir, “Kenapa dia malah harus bekerja? Kenapa saat ini dia tidak berada di sekolah, mengemban ilmu untuk masa depannya nanti?” Itu, kalau kita memang masih punya hati. Karena banyak orang, kini sudah tidak peduli lagi terhadap sesamanya. Nah, kita perhitungkanlah orang-orang yang masih punya hati, bukannya tidak mungkin, karena hal semacam ini, ada seseorang yang jadi bercita-cita untuk guru, agar bisa mengajari orang-orang yang tidak mampu secara gratis. Anda bebas untuk memikirkan contoh lain yang sejenis. Itulah cinta terhadap sesama.
Yang kedua, cinta terhadap keluarga. Sebuah fakta umum yang saya temui, banyak guru yang telah berkeluarga. Dan banyak pula di antara guru-guru itu yang menjadi tulang punggung keluarganya. Jika dia memang mencintai keluarganya, tidak mungkin guru itu tidak mau bekerja keras untuk menghidupi keluarganya. Memang, pada akhirnya, kita dapat menyimpulkan bahwa motif kerja kerasnya adalah ekonomi, tapi kalau mau ditelusuri lagi… bukankah itu semua karena dia cinta terhadap keluarganya? Dan jika motif ini membuat seseorang menjadi guru yang profesional, kita tidak bisa lagi meremehkan ‘cinta terhadap keluarga’. Tapi, pada saat yang bersamaan, cinta terhadap keluarga bisa menjadi faktor penghambat seorang guru menjadi profesional. Alasannya, sang guru mungkin tidak lagi peduli pada hakikatnya sebagai seorang guru. Baginya itu hanyalah sebuah pekerjaan. Hanya datang ke sekolah, mengajar, dan mendapatkan uang. Tapi sejatinya, dia TIDAK benar-benar MENJADI SEORANG GURU. Sayangnya, guru seperti inilah yang lebih sering saya temui.
Ketiga, cinta terhadap ilmu pengetahuan. Di zaman informasi yang serba cepat ini, pengetahuan adalah hal yang terpenting dalam menjalani kehidupan. Sayangnya, sekarang ini banyak orang yang tidak begitu peduli pada pengetahuan. Orang-orang itu sekedar melihat, tetapi tidak menyentuh pengetahuan itu secara langsung. Kita contohkan saja, banyak teman-teman saya yang lebih senang menghabiskan waktunya untuk mengobrol ngalor-ngidul, dari A sampai Z, yang entah letak pengetahuannya di mana. Bercerita tentang kisah di sebuah film atau mungkin novel masih masuk dalam kategori pengetahuan, tapi kalau menggosipkan tentang kejelekan orang lain? Apa itu masih termasuk ilmu pengetahuan juga? Mungkin saja, itu adalah mata pelajaran baru yang saya beri nama GOSIPOLOGI.
Nah, bagi seseorang yang mencintai ilmu pengetahuan tentunya ini adalah keadaan yang sangat tidak menyenangkan. Dan bisa saja, ini menjadi pendorong bagi ‘Science Lovers’ untuk bisa membuat orang-orang lebih mencintai ilmu pengetahuan. Caranya? Yap, dengan menjadi guru!
Yang keempat, cinta terhadap murid-muridnya. Kecintaan yang saya maksud di sini harus dalam batasan yang wajar. Bukan seperti yang ada di film-film, cinta yang terjalin antara guru dan murid (tapi kalau memang terjadi, yah… biarlah terjadi! Hehehe) Sejak memutuskan untuk menuliskan artikel ini, saya terus menerus memperhatikan dan mengingat semua guru yang pernah mengajar saya. Dan saya mendapat fakta baru lagi. Guru yang galak, tentunya dibenci oleh para muridnya. Sebaliknya, guru yang terlalu baik, malah dimanfaatkan oleh para muridnya. Ada lagi tipe guru yang masa bodoh (mungkin hasil negatif dari pabrik cinta keluarga yang saya sebut di atas) dibalas masa bodoh juga oleh murid-muridnya. Padahal, guru yang galak, belum tentu hatinya galak! Justru ada beberapa guru yang dikatakan galak (tapi bagi saya lebih tepat disebut TEGAS) merupakan guru yang perhatian pada muridnya. Seandainya, guru tersebut masa bodoh pada nilai (dan juga masa depan) murid-muridnya, tentu dia juga akan bersikap masa bodoh. Tetapi guru seperti inilah yang (kebanyakan) justru dibenci oleh para muridnya.
Suatu ketika saya mendapat kisah dari adik perempuan saya yang juga sedang duduk di bangku terakhir SMP. Dalam pertemuan di kelas, setelah memberi soal yang sama sekali tidak terjawab, guru biologinya bertanya tentang UN mereka nanti. Kira-kira begini pertanyaannya :
“Bagaimana hasil UN kalian kalau terus seperti ini?”
Salah seorang siswa (yang duduk tepat di hadapan meja guru itu), berkata pelan sambil melengos,
“Masa bodoh…”
Otomatis sang guru membalas,
“… ya, dan nilai-nilai masa bodoh itu yang akan kalian dapatkan!!”
Menghadapi siswa yang seperti itu, guru mana yang tidak akan emosi? Masalahnya, memang, secinta apapun seorang guru pada murid-muridnya, tidak mungkin cinta itu akan bertahan lama tanpa balasan yang sama dari murid-murid itu sendiri. Karenanya, mungkin akan jauh lebih baik apabila guru tersebut bisa lebih gamblang menunjukkan perhatiannya kepada murid-muridnya. . Tetapi pada saat yang bersamaan guru tersebut juga harus menunjukkan sikap tegasnya agar tidak dipandang remeh oleh murid-muridnya. Akan tetapi (lagi-lagi tapi!) guru juga harus ingat, apa sesungguhnya tujuan murid berada di sekolah. Murid berada di sekolah untuk menambah ilmunya, dan ini tidak berarti sang guru boleh ‘membantu’ muridnya demi mendapatkan nilai yang bagus. Terlebih, jika bantuan itu telah menyalahi proses dan aturan yang sesungguhnya. Apa gunanya nilai-nilai yang sempurna, jika setamatnya sekolah, murid itu TETAP TIDAK TAHU APA-APA?
Yang kelima, Cinta terhadap Kebenaran. Cinta yang ini, mungkin agak sedikit mirip dengan cinta terhadap ilmu pengetahuan, tapi sebenarnya ada bedanya. Cinta terhadap ilmu pengetahuan mungkin masuk dalam kategori ‘hobi’, sedangkan cinta terhadap kebenaran lebih ke arah ‘prinsip’. Seorang manusia tentu harus memiliki prinsip. Dan tidak ada salahnya kebenaran menjadi salah satu prinsip dari seorang guru.
Cinta terhadap kebenaran bisa mendorong guru untuk tidak jera mengajarkan apa yang benar kepada muridnya, meski murid tersebut tidak henti-hentinya berbuat salah. Cinta terhadap kebenaran juga bisa membuat seorang guru tetap berlaku JUJUR dan ADIL selama ia berprofesi sebagai guru meski ia dihadang dengan berbagai ketidak benaran yang terjadi di depan matanya. Demi cinta terhadap kebenaran, nurani seorang guru tidak akan mudah tergadaikan.
Cinta terhadap kebenaran bisa ditularkan seorang guru kepada murid-muridnya, agar murid-murid itu juga tidak ikut rusak karena dijejali berbagai penyimpangan dan kecurangan yang terjadi di lingkungan sekolahnya. Jangan sampai terjadi justru guru yang memberikan contoh perilaku buruk atau menyimpang, seperti membiarkan siswanya menyontek, memberikan bocoran jawaban saat ujian, dsb.
Parahnya lagi, kita tahu tapi kita bersikap pura-pura tidak tahu atau tidak peduli. Wajar saja Indonesia sulit memberangus perilaku korupsi, ternyata ada ‘calon-calon koruptor kecil’ yang tumbuh dengan subur di halaman sekolah. Karena itu, cinta terhadap kebenaran merupakan salah satu poin paling penting dari beberapa ‘cinta’ yang saya beberkan disini.
Cinta terakhir yang saya miliki (aduduh!) adalah cinta terhadap profesi. Seseorang yang ingin menjadi profesional, di bidang apapun itu, wajib mencintai profesinya. Anda yang berlangganan koran ini sebelum bulan puasa tahun lalu pasti mengenal idola saya, Dahlan Iskan, yang menuliskan pengalaman transplantasi livernya di surat kabar yang dipimpinnya. Saya mengutip sedikit isi bab kedua yang menceritakan bahwa tiga jam sebelum operasi transplantasi, beliau masih di tawari take over koran lewat SMS, ditambah lagi dengan SMS dari salah satu direksinya tentang penandantanganan dokumen tender. Memang, pastinya relasi yang mengirimkan SMS seperti itu pada beliau tidak tahu bahwa beliau akan segera dioperasi. Tetapi, satu hal yang menarik perhatian saya, beliau tetap membalas satu persatu sms tersebut seolah beliau memang sedang ON untuk bekerja!
Bagi saya, itulah cinta terhadap profesi. Kecintaan kita terhadap profesi akan membuat kita benar-benar menjadikan profesi itu jiwa dan raga kita. Itu semua menghilangkan batas-batas ruang dan waktu, entah di kantor maupun ruang kerja orang yang professional lainnya.
Seorang guru yang profesional akan tetap menjadi guru meski ia tidak sedang berada di sekolah. Seorang penulis yang profesional akan tetap menjadi seorang penulis, meski ia sedang tidak berhadapan dengan meja tulisnya. Itulah makna yang ingin saya tekankan dari Cinta terakhir ini.
Ada lagi satu contoh cinta terhadap profesi. Saya mendengar ibu saya bercerita tentang gurunya semasa sekolah dulu. Guru itu telah berkeluarga. Dan suaminya adalah kepala salah satu bank pemerintah di kota ibu saya itu. Jadi, dapat disimpulkan, dari segi finansial, segala kebutuhannya telah terpenuhi. Tapi, beliau tetap berprofesi sebagai guru. Beliau tetap mengajar di sekolah ibu saya dan bisa ditebak beliau pernah menyandang predikat guru teladan karena pengabdiannya terhadap dunia pendidikan. Lagi-lagi saya menyimpulkan, bukankah itu semua karena beliau CINTA terhadap profesinya sebagai seorang guru?
Ternyata, setelah enam poin cinta dari seorang guru tadi, saya mendapatkan satu poin tambahan lagi. Seorang guru akan benar-benar menjadi profesional, jika guru itu juga di-CINTAI oleh orang-orang disekitarnya. Seorang guru dengan sebanyak apapun ‘cinta’-nya, tidak akan bisa menjadi professional jika tidak dicintai oleh orang –orang di sekitarnya. Dalam artian, diterima oleh orang-orang di sekitarnya.
Saya mendapatkan sebuah kisah lagi. Ada seseorang yang ingin menjadi guru, benar-benar ingin menjadi seorang guru. Dia memiliki prinsip, ilmu pengetahuan yang luas, dan juga kasih sayang yang tinggi. Kita simpulkan saja, dia telah memiliki berbagai cinta yang saya jabarkan. Akan tetapi, dalam prakteknya menjadi guru, dia dengan idealismenya ternyata menjadi sesuatu yang ‘berbeda’ di tempatnya mengajar. Ide-idenya ditolak mentah-mentah. Pihak sekolah tidak mau mendukung, apalagi jika untuk itu mereka harus mengeluarkan sejumlah dana. Tidak ada dukungan dari teman-teman sejawatnya. Terlebih dari murid-muridnya yang tidak mengerti permasalahan, sekaligus tidak begitu bisa menerima caranya yang lain daripada yang lain. Mungkin sekedar menulisi buku catatan dengan apa yang telah ada di buku paket memang sudah jadi kebiasaan murid-murid sekarang. Hanya bisa disu ap, dan tidak bisa mencoba untuk makan sendiri. Jika ini terjadi pada setiap CALON guru ideal … kapan mereka bisa benar-benar menjadi guru?
Saya tidak mau muluk-muluk. Dalam hal ini, kita memang harus tetap bersikap realistis, berpijak pada kenyataan. Jika melihat tuntutan kehidupan yang semakin sulit, menurut hemat saya ada satu syarat lagi yang harus dipenuhi agar guru bisa bersikap profesional. Guru harus diberi imbalan selayaknya yang sepadan dengan kerja kerasnya, guru harus sejahtera lahir dan batin, singkatnya : guru harus mapan secara finansial (dengan catatan : harus dengan cara-cara yang wajar). Banyak contoh yang memperlihatkan sebuah idealisme bisa kabur bahkan luntur karena berbenturan dengan keadaan yang tidak sejalan dan tuntutan perut yang ‘lapar’.
Banyak pihak di dunia pendidikan yang menjadi pelaku korupsi besar-besaran yang tidak tersentuh karena mereka saling melindungi dengan lihainya. Dan ini terjadi karena berbagai faktor, entah itu karena murid-murid yang senang saja diberi makanan seperti itu (contoh, jika guru tidak masuk, mereka akan lebih bahagia. Justru kalau ada guru yang rajin masuk, mereka akan mengeluh) atau karena sudah tidak ada lagi kepedulian terhadap masa depan bangsa yang seharusnya dipupuk sejak bangku sekolah.
Baiklah, untuk menutup tulisan saya. Saya akan menceritakan satu lagi pengalaman pribadi saya (setelah sekian banyak menculik pengalaman pribadi orang lain! Hehehe). Ada seorang guru yang pindah dari sekolah saya ketika saya masih duduk di bangku SD. Guru itu simpatik dan disayangi banyak murid. Tetapi, karena sebuah kesalahan, saya ditegur oleh guru itu. Sejak saat itu saya jadi tidak menyukainya (tahu sendiri ‘kan, jalan pikiran anak SD itu bagaimana?). Belum lama ini, secara tidak sengaja saya bertemu beliau. Beliau berdiri di depan SD yang berada di dekat tempat saya bersekolah sekarang. Saya memberanikan diri untuk menyapa, dan ternyata beliau pun masih mengingat saya setelah bertahun-tahun lamanya.
Beberapa waktu setelah itu, saya dikagetkan oleh panggilan seseorang saat saya sedang berada di atas motor, dalam perjalanan menuju ke sekolah. Dan saya dipanggil dengan suara yang cukup keras, yang membuat semua pengendara di sekitar situ menoleh ke arah kami. Ternyata beliau yang memanggil saya. Setelah ia pergi, dan kini saat saya sedang mengingat pengalaman ini, saya sadar meski bertahun-tahun telah berlalu, meski beliau tidak lagi mengajar di kelas saya, dan meski kami tidak lagi berada di sekolah yang sama… beliau MASIH guru saya.
Setelah saya membaca kembali apa yang telah saya jabarkan, saya semakin pesimis. Apakah guru yang profesional itu masih mudah untuk ditemui? Kalau tidak, itulah yang sangat saya sayangkan. Di awal tulisan ini, saya menuliskan bahwa saya kasihan pada ‘adik-adik’ saya. Iya, adik dalam tanda kutip. Yang saya maksud adalah junior-junior saya. Mendengar penuturan dari orang tua saya tentang pendidikan dulu dan melihat kenyataan yang terbentang di hadapan saya kini, saya sadar… dunia pendidikan bukan semakin maju, tetapi malah semakin mundur. Dan jika di generasi saya saja, sudah sedemikian keadaannya, bagaimana jadinya di generasi yang akan datang? Penyimpangan dan penyelewengan di UN seolah menjadi hal biasa. Orang tua harus membayar mahal untuk pendidikan sang anak, yang pada akhirnya hanya akan membawa pulang otak kosong belaka.
Jika terus begini… siapa yang akan menyelamatkan masa depan pendidikan bangsa ini? Siapa yang bisa menyelamatkan mereka selain guru yang benar-benar profesional?
(http://chiakimegumi.multiply.com/journal/item/8)
Jujur saja, salah satu motivasi saya mengikuti ajang ini karena prihatin dengan nasib ‘adik-adik’ saya (akan saya jelaskan nanti kenapa) dan keinginan untuk memenangkan hadiah laptop, agar bisa seperti idola saya, Dahlan Iskan, yang tetap bisa bekerja di mana pun dia berada karena memiliki laptop.
Menurut orang-orang dewasa yang bijak itu, jika kita mencintai sebuah pekerjaan, maka kita akan mengerahkan segala potensi yang kita miliki untuk mengoptimalkan pencapaian hasil pekerjaan itu, tidak peduli sebesar apa pun pengorbanan yang harus kita lakukan. Waktu, pikiran, tenaga, uang, bahkan mungkin kesehatan! Ibarat mencintai seorang kekasih, kita rela melakukan apa saja untuknya. Pengorbanan seberat apa pun akan terasa indah dan manis, demi kebahagiaan sang kekasih. Kurang lebih begitu.
Dengan pemahaman saya yang masih sangat terbatas, saya mencoba menganalogikan . . . mungkinkah : kecintaan terhadap kekasih = kecintaan terhadap pekerjaan = PROFESIONALISME?
Guru, bermakna ganda : Person atau orangnya, sekaligus pekerjaan atau Profesinya. Pernah suatu hari, tanpa sengaja saya menguping obrolan ibu dan mbah Kung saya (kakek, bapak dari ibu saya). Terlontar sebuah kalimat dari mulut mbah saya, yang hingga hari ini belum benar-benar saya pahami apa maknanya dan adakah dasar untuk pembenarannya. Katanya, GURU adalah orang yang di-GU-gu dan diti-RU. Terserah pembaca untuk menginterpretasikan filosofi itu seperti apa. Yang jelas, nilai rasa yang tertangkap oleh alam pemikiran belia saya saat itu bahwa “guru adalah teladan”, “idola” seperti kata para remaja seusia saya, “my teacher is the best!”.
Pertanyaannya, masih relevankah ungkapan tersebut dengan kon0disi guru saat ini? Sulit bagi saya untuk menjawabnya. Untuk adilnya, kita pilih jawaban ala iklan saja . . . maybe yes…maybe no! Mungkin ya, mungkin tidak…..
Guru sebuah profesi mulia. Siapa pun tidak akan mengingkari kenyataan itu. Tapi sejatinya seorang guru, menurut saya, jika seseorang bisa menjalankan peran sebagai guru “all out”, “luar dan dalam”, di luar guru di dalam juga guru. Bukan hanya sebutan guru yang melekat di seragamnya, jenis pekerjaannya secara fisik, tetapi jiwa keguruannya terselip entah di mana.
Guru idaman saya adalah guru yang memiliki totalitas, jiwa keguruannya merasuk-suk sampai ke segenap ion tubuhnyap. Pada kenyataannya tidak sedikit orang yang menjadi guru hanya karena desakan keadaan, dengan alasan hanya jurusan tersebut yang bisa dipilih, serta berbagai alasan lainnya, dan bukan karena ia benar-benar bercita-cita ingin menjadi seorang guru.
Kecintaan terhadap profesi guru akan memunculkan sebuah sumur ilham, mata air inspirasi, sumber ketulusan, keikhlasan dan pengabdian yang mengalir tiada henti. Seorang guru sejati akan tetap merasa, berpikir, dan bersikap selayaknya seorang guru di mana pun, kapan pun, dan dalam situasi apa pun ia berada, tidak terbatas hanya dalam lingkungan sekolah semata. Karena menurut saya, GURU adalah IBU dari semua Profesi. Melalui ‘sentuhan’ seorang guru, terlahirlah profesi-profesi yang lain.
Mengapa kata ‘Cinta’ menjadi isu penting dalam tulisan ini, saya akan coba menguraikan semampu saya, pembaca bisa menambahkan dengan sederet ‘cinta…..” yang lain.
Pertama, cinta terhadap sesama. Bukan cinta terhadap sesama jenis, lho (hehehe). Yang saya maksud di sini, adalah cinta terhadap sesama manusia. Dengan kata lain, rasa solidaritas ataupun penghormatan kepada manusia yang lain. Kalau kita masih punya hati, tidak mungkin kita tidak merasa sedih jika melihat seorang anak harus bekerja sebagai pemulung di jam sekolah. Tidakkah kita akan berpikir, “Kenapa dia malah harus bekerja? Kenapa saat ini dia tidak berada di sekolah, mengemban ilmu untuk masa depannya nanti?” Itu, kalau kita memang masih punya hati. Karena banyak orang, kini sudah tidak peduli lagi terhadap sesamanya. Nah, kita perhitungkanlah orang-orang yang masih punya hati, bukannya tidak mungkin, karena hal semacam ini, ada seseorang yang jadi bercita-cita untuk guru, agar bisa mengajari orang-orang yang tidak mampu secara gratis. Anda bebas untuk memikirkan contoh lain yang sejenis. Itulah cinta terhadap sesama.
Yang kedua, cinta terhadap keluarga. Sebuah fakta umum yang saya temui, banyak guru yang telah berkeluarga. Dan banyak pula di antara guru-guru itu yang menjadi tulang punggung keluarganya. Jika dia memang mencintai keluarganya, tidak mungkin guru itu tidak mau bekerja keras untuk menghidupi keluarganya. Memang, pada akhirnya, kita dapat menyimpulkan bahwa motif kerja kerasnya adalah ekonomi, tapi kalau mau ditelusuri lagi… bukankah itu semua karena dia cinta terhadap keluarganya? Dan jika motif ini membuat seseorang menjadi guru yang profesional, kita tidak bisa lagi meremehkan ‘cinta terhadap keluarga’. Tapi, pada saat yang bersamaan, cinta terhadap keluarga bisa menjadi faktor penghambat seorang guru menjadi profesional. Alasannya, sang guru mungkin tidak lagi peduli pada hakikatnya sebagai seorang guru. Baginya itu hanyalah sebuah pekerjaan. Hanya datang ke sekolah, mengajar, dan mendapatkan uang. Tapi sejatinya, dia TIDAK benar-benar MENJADI SEORANG GURU. Sayangnya, guru seperti inilah yang lebih sering saya temui.
Ketiga, cinta terhadap ilmu pengetahuan. Di zaman informasi yang serba cepat ini, pengetahuan adalah hal yang terpenting dalam menjalani kehidupan. Sayangnya, sekarang ini banyak orang yang tidak begitu peduli pada pengetahuan. Orang-orang itu sekedar melihat, tetapi tidak menyentuh pengetahuan itu secara langsung. Kita contohkan saja, banyak teman-teman saya yang lebih senang menghabiskan waktunya untuk mengobrol ngalor-ngidul, dari A sampai Z, yang entah letak pengetahuannya di mana. Bercerita tentang kisah di sebuah film atau mungkin novel masih masuk dalam kategori pengetahuan, tapi kalau menggosipkan tentang kejelekan orang lain? Apa itu masih termasuk ilmu pengetahuan juga? Mungkin saja, itu adalah mata pelajaran baru yang saya beri nama GOSIPOLOGI.
Nah, bagi seseorang yang mencintai ilmu pengetahuan tentunya ini adalah keadaan yang sangat tidak menyenangkan. Dan bisa saja, ini menjadi pendorong bagi ‘Science Lovers’ untuk bisa membuat orang-orang lebih mencintai ilmu pengetahuan. Caranya? Yap, dengan menjadi guru!
Yang keempat, cinta terhadap murid-muridnya. Kecintaan yang saya maksud di sini harus dalam batasan yang wajar. Bukan seperti yang ada di film-film, cinta yang terjalin antara guru dan murid (tapi kalau memang terjadi, yah… biarlah terjadi! Hehehe) Sejak memutuskan untuk menuliskan artikel ini, saya terus menerus memperhatikan dan mengingat semua guru yang pernah mengajar saya. Dan saya mendapat fakta baru lagi. Guru yang galak, tentunya dibenci oleh para muridnya. Sebaliknya, guru yang terlalu baik, malah dimanfaatkan oleh para muridnya. Ada lagi tipe guru yang masa bodoh (mungkin hasil negatif dari pabrik cinta keluarga yang saya sebut di atas) dibalas masa bodoh juga oleh murid-muridnya. Padahal, guru yang galak, belum tentu hatinya galak! Justru ada beberapa guru yang dikatakan galak (tapi bagi saya lebih tepat disebut TEGAS) merupakan guru yang perhatian pada muridnya. Seandainya, guru tersebut masa bodoh pada nilai (dan juga masa depan) murid-muridnya, tentu dia juga akan bersikap masa bodoh. Tetapi guru seperti inilah yang (kebanyakan) justru dibenci oleh para muridnya.
Suatu ketika saya mendapat kisah dari adik perempuan saya yang juga sedang duduk di bangku terakhir SMP. Dalam pertemuan di kelas, setelah memberi soal yang sama sekali tidak terjawab, guru biologinya bertanya tentang UN mereka nanti. Kira-kira begini pertanyaannya :
“Bagaimana hasil UN kalian kalau terus seperti ini?”
Salah seorang siswa (yang duduk tepat di hadapan meja guru itu), berkata pelan sambil melengos,
“Masa bodoh…”
Otomatis sang guru membalas,
“… ya, dan nilai-nilai masa bodoh itu yang akan kalian dapatkan!!”
Menghadapi siswa yang seperti itu, guru mana yang tidak akan emosi? Masalahnya, memang, secinta apapun seorang guru pada murid-muridnya, tidak mungkin cinta itu akan bertahan lama tanpa balasan yang sama dari murid-murid itu sendiri. Karenanya, mungkin akan jauh lebih baik apabila guru tersebut bisa lebih gamblang menunjukkan perhatiannya kepada murid-muridnya. . Tetapi pada saat yang bersamaan guru tersebut juga harus menunjukkan sikap tegasnya agar tidak dipandang remeh oleh murid-muridnya. Akan tetapi (lagi-lagi tapi!) guru juga harus ingat, apa sesungguhnya tujuan murid berada di sekolah. Murid berada di sekolah untuk menambah ilmunya, dan ini tidak berarti sang guru boleh ‘membantu’ muridnya demi mendapatkan nilai yang bagus. Terlebih, jika bantuan itu telah menyalahi proses dan aturan yang sesungguhnya. Apa gunanya nilai-nilai yang sempurna, jika setamatnya sekolah, murid itu TETAP TIDAK TAHU APA-APA?
Yang kelima, Cinta terhadap Kebenaran. Cinta yang ini, mungkin agak sedikit mirip dengan cinta terhadap ilmu pengetahuan, tapi sebenarnya ada bedanya. Cinta terhadap ilmu pengetahuan mungkin masuk dalam kategori ‘hobi’, sedangkan cinta terhadap kebenaran lebih ke arah ‘prinsip’. Seorang manusia tentu harus memiliki prinsip. Dan tidak ada salahnya kebenaran menjadi salah satu prinsip dari seorang guru.
Cinta terhadap kebenaran bisa mendorong guru untuk tidak jera mengajarkan apa yang benar kepada muridnya, meski murid tersebut tidak henti-hentinya berbuat salah. Cinta terhadap kebenaran juga bisa membuat seorang guru tetap berlaku JUJUR dan ADIL selama ia berprofesi sebagai guru meski ia dihadang dengan berbagai ketidak benaran yang terjadi di depan matanya. Demi cinta terhadap kebenaran, nurani seorang guru tidak akan mudah tergadaikan.
Cinta terhadap kebenaran bisa ditularkan seorang guru kepada murid-muridnya, agar murid-murid itu juga tidak ikut rusak karena dijejali berbagai penyimpangan dan kecurangan yang terjadi di lingkungan sekolahnya. Jangan sampai terjadi justru guru yang memberikan contoh perilaku buruk atau menyimpang, seperti membiarkan siswanya menyontek, memberikan bocoran jawaban saat ujian, dsb.
Parahnya lagi, kita tahu tapi kita bersikap pura-pura tidak tahu atau tidak peduli. Wajar saja Indonesia sulit memberangus perilaku korupsi, ternyata ada ‘calon-calon koruptor kecil’ yang tumbuh dengan subur di halaman sekolah. Karena itu, cinta terhadap kebenaran merupakan salah satu poin paling penting dari beberapa ‘cinta’ yang saya beberkan disini.
Cinta terakhir yang saya miliki (aduduh!) adalah cinta terhadap profesi. Seseorang yang ingin menjadi profesional, di bidang apapun itu, wajib mencintai profesinya. Anda yang berlangganan koran ini sebelum bulan puasa tahun lalu pasti mengenal idola saya, Dahlan Iskan, yang menuliskan pengalaman transplantasi livernya di surat kabar yang dipimpinnya. Saya mengutip sedikit isi bab kedua yang menceritakan bahwa tiga jam sebelum operasi transplantasi, beliau masih di tawari take over koran lewat SMS, ditambah lagi dengan SMS dari salah satu direksinya tentang penandantanganan dokumen tender. Memang, pastinya relasi yang mengirimkan SMS seperti itu pada beliau tidak tahu bahwa beliau akan segera dioperasi. Tetapi, satu hal yang menarik perhatian saya, beliau tetap membalas satu persatu sms tersebut seolah beliau memang sedang ON untuk bekerja!
Bagi saya, itulah cinta terhadap profesi. Kecintaan kita terhadap profesi akan membuat kita benar-benar menjadikan profesi itu jiwa dan raga kita. Itu semua menghilangkan batas-batas ruang dan waktu, entah di kantor maupun ruang kerja orang yang professional lainnya.
Seorang guru yang profesional akan tetap menjadi guru meski ia tidak sedang berada di sekolah. Seorang penulis yang profesional akan tetap menjadi seorang penulis, meski ia sedang tidak berhadapan dengan meja tulisnya. Itulah makna yang ingin saya tekankan dari Cinta terakhir ini.
Ada lagi satu contoh cinta terhadap profesi. Saya mendengar ibu saya bercerita tentang gurunya semasa sekolah dulu. Guru itu telah berkeluarga. Dan suaminya adalah kepala salah satu bank pemerintah di kota ibu saya itu. Jadi, dapat disimpulkan, dari segi finansial, segala kebutuhannya telah terpenuhi. Tapi, beliau tetap berprofesi sebagai guru. Beliau tetap mengajar di sekolah ibu saya dan bisa ditebak beliau pernah menyandang predikat guru teladan karena pengabdiannya terhadap dunia pendidikan. Lagi-lagi saya menyimpulkan, bukankah itu semua karena beliau CINTA terhadap profesinya sebagai seorang guru?
Ternyata, setelah enam poin cinta dari seorang guru tadi, saya mendapatkan satu poin tambahan lagi. Seorang guru akan benar-benar menjadi profesional, jika guru itu juga di-CINTAI oleh orang-orang disekitarnya. Seorang guru dengan sebanyak apapun ‘cinta’-nya, tidak akan bisa menjadi professional jika tidak dicintai oleh orang –orang di sekitarnya. Dalam artian, diterima oleh orang-orang di sekitarnya.
Saya mendapatkan sebuah kisah lagi. Ada seseorang yang ingin menjadi guru, benar-benar ingin menjadi seorang guru. Dia memiliki prinsip, ilmu pengetahuan yang luas, dan juga kasih sayang yang tinggi. Kita simpulkan saja, dia telah memiliki berbagai cinta yang saya jabarkan. Akan tetapi, dalam prakteknya menjadi guru, dia dengan idealismenya ternyata menjadi sesuatu yang ‘berbeda’ di tempatnya mengajar. Ide-idenya ditolak mentah-mentah. Pihak sekolah tidak mau mendukung, apalagi jika untuk itu mereka harus mengeluarkan sejumlah dana. Tidak ada dukungan dari teman-teman sejawatnya. Terlebih dari murid-muridnya yang tidak mengerti permasalahan, sekaligus tidak begitu bisa menerima caranya yang lain daripada yang lain. Mungkin sekedar menulisi buku catatan dengan apa yang telah ada di buku paket memang sudah jadi kebiasaan murid-murid sekarang. Hanya bisa disu ap, dan tidak bisa mencoba untuk makan sendiri. Jika ini terjadi pada setiap CALON guru ideal … kapan mereka bisa benar-benar menjadi guru?
Saya tidak mau muluk-muluk. Dalam hal ini, kita memang harus tetap bersikap realistis, berpijak pada kenyataan. Jika melihat tuntutan kehidupan yang semakin sulit, menurut hemat saya ada satu syarat lagi yang harus dipenuhi agar guru bisa bersikap profesional. Guru harus diberi imbalan selayaknya yang sepadan dengan kerja kerasnya, guru harus sejahtera lahir dan batin, singkatnya : guru harus mapan secara finansial (dengan catatan : harus dengan cara-cara yang wajar). Banyak contoh yang memperlihatkan sebuah idealisme bisa kabur bahkan luntur karena berbenturan dengan keadaan yang tidak sejalan dan tuntutan perut yang ‘lapar’.
Banyak pihak di dunia pendidikan yang menjadi pelaku korupsi besar-besaran yang tidak tersentuh karena mereka saling melindungi dengan lihainya. Dan ini terjadi karena berbagai faktor, entah itu karena murid-murid yang senang saja diberi makanan seperti itu (contoh, jika guru tidak masuk, mereka akan lebih bahagia. Justru kalau ada guru yang rajin masuk, mereka akan mengeluh) atau karena sudah tidak ada lagi kepedulian terhadap masa depan bangsa yang seharusnya dipupuk sejak bangku sekolah.
Baiklah, untuk menutup tulisan saya. Saya akan menceritakan satu lagi pengalaman pribadi saya (setelah sekian banyak menculik pengalaman pribadi orang lain! Hehehe). Ada seorang guru yang pindah dari sekolah saya ketika saya masih duduk di bangku SD. Guru itu simpatik dan disayangi banyak murid. Tetapi, karena sebuah kesalahan, saya ditegur oleh guru itu. Sejak saat itu saya jadi tidak menyukainya (tahu sendiri ‘kan, jalan pikiran anak SD itu bagaimana?). Belum lama ini, secara tidak sengaja saya bertemu beliau. Beliau berdiri di depan SD yang berada di dekat tempat saya bersekolah sekarang. Saya memberanikan diri untuk menyapa, dan ternyata beliau pun masih mengingat saya setelah bertahun-tahun lamanya.
Beberapa waktu setelah itu, saya dikagetkan oleh panggilan seseorang saat saya sedang berada di atas motor, dalam perjalanan menuju ke sekolah. Dan saya dipanggil dengan suara yang cukup keras, yang membuat semua pengendara di sekitar situ menoleh ke arah kami. Ternyata beliau yang memanggil saya. Setelah ia pergi, dan kini saat saya sedang mengingat pengalaman ini, saya sadar meski bertahun-tahun telah berlalu, meski beliau tidak lagi mengajar di kelas saya, dan meski kami tidak lagi berada di sekolah yang sama… beliau MASIH guru saya.
Setelah saya membaca kembali apa yang telah saya jabarkan, saya semakin pesimis. Apakah guru yang profesional itu masih mudah untuk ditemui? Kalau tidak, itulah yang sangat saya sayangkan. Di awal tulisan ini, saya menuliskan bahwa saya kasihan pada ‘adik-adik’ saya. Iya, adik dalam tanda kutip. Yang saya maksud adalah junior-junior saya. Mendengar penuturan dari orang tua saya tentang pendidikan dulu dan melihat kenyataan yang terbentang di hadapan saya kini, saya sadar… dunia pendidikan bukan semakin maju, tetapi malah semakin mundur. Dan jika di generasi saya saja, sudah sedemikian keadaannya, bagaimana jadinya di generasi yang akan datang? Penyimpangan dan penyelewengan di UN seolah menjadi hal biasa. Orang tua harus membayar mahal untuk pendidikan sang anak, yang pada akhirnya hanya akan membawa pulang otak kosong belaka.
Jika terus begini… siapa yang akan menyelamatkan masa depan pendidikan bangsa ini? Siapa yang bisa menyelamatkan mereka selain guru yang benar-benar profesional?
(http://chiakimegumi.multiply.com/journal/item/8)